|
Khadafy Ende Putra (Angkatan 11) |
APA KABAR SMUDAMA (Fajar Online) - TAK pernah terbayang di benak remaja berbadan tegap ini. Usahanya mengejar cita-citanya menjadi sarjana elektro dan bersekolah di luar negeri kini selangkah lagi akan digapai.
Kemahirannya berhitung dengan rumus-rumus fisika dan matematika, membawa Khadafi Ende Putra menembus ketatnya persaingan meraih beasiswa dari pemerintah Jepang. Pemuda kelahiran 12 Februari 1992 ini berada di urutan 19 dari 26 nama pelajar dari seluruh Indonesia yang lulus dalam beasiswa program D3 Monbukagakusho.
Beasiswa ini memang diberikan hanya kepada mereka yang berprestasi dari seluruh dunia.
Di redaksi FAJAR, Minggu, 14 Agustus, anak kedua dari lima bersaudara pasangan Robby Ende dan Harnetilanip menceritakan pengalamannya mengikuti program beasiswa tersebut.
Sebelum mengikuti beasiswa Monbukagakusho, Khadafi mengaku telah tahu tantang seluk beluk beasiswa dari kakak kelasnya di Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 2 Tinggimoncong, Kabupaten Gowa. Sebelumnya, tujuh orang siswa asal sekolah ini telah menjadi ‘alumni’ program beasiswa asal negeri Sakura itu.
"Saya tahu beasiswa tersebut sejak kelas satu SMA, jadi persiapan jauh lebih matang. Alhamdulillah tahun ini saya lulus, " ucapnya haru.
Dalam mengikuti program beasiswa ini, ada dua mata pelajaran yang harus diujikan yaitu, Matematika dan Fisika. Bersyukur, Khadafi sangat mahir dengan kedua mata pelajaran tersebut, bahkan ia yang pernah mendapat ‘beasiswa’ dari Rannu Prima College – salah satu lembaga bimbingan belajar di Makassar -- adalah guru privat matematika sejumlah siswa.
"Banyak rekan yang sering meminta saya mengajar matematika, terutama yang akan ujian masuk sekolah tinggi negeri, dan juga sejumlah orang pejabat yang minta anaknya diajar secara privat," ungkapnya.
Karena pergaulannya yang luas, dan banyaknya anak didiknya yang telah berhasil, Khadafi pernah diajak untuk bekerja di perusahaan tambang emas dunia, Freeport. Tapi tawaran itu ditolaknya dengan alas an, Ia belum mau bekerja sebelum jadi sarjana. “Kalau kerja di sana dan belum sarjana, pasti suatu saat posisi kita akan mentok. Tentu beda kalau sudah sarjana.
Untuk mendapatkan beasiswa dari Jepang, bukanlah perkara mudah. Khadafi harus berusaha mati-matian dan mempermahir dua mata pelajaran yang diujikan (Matematika dan Fisika, Red). Bahkan dirinya harus jadi pelanggan warung internet (warnet) untuk mengurusi segala kelengkapan beasiswa.
“Saya hampir tiap hari ke warnet. Soalnya semuanya melalui sistem on line. Kalau untuk Matematika dan fisika, saya belajar secara otodidak, trik saya yakni mengenali induknya, akar dari terbentuknya rumus," urai pemuda yang mengaku tertarik dengan Jepang karena perkembangan teknologinya.
Sebelum mengikuti beasiswa Monbukagakusho, Khadafi mengaku juga pernah mengikuti beasiswa Mitsui Jepang, Sayang, di beasiswa ini, Khadafi tidak lulus, tetapi pengalamannya justru menjadi bekalnya menghadapi beasiswa D3 Monbukagakusho.
"Waktu mengikuti beasiswa Mitsui saya harus bolak-balik ke Jakarta, padahal saya tidak punya biaya,” ujarnya.
Beruntung, orang tuanya yang jualan bunga belum membayar kontrak rumahnya, sehingga uang yang mestinya dipakai memperpanjang kontrakan rumahnya dipakai untuk beli tiket ke Jakarta.
Pada perjalanan keduanya ke Jakarta, nasib baik juga terbuka ketika seorang kakak kelasnya, Muh Ramli Rahim yang menjadi direktur di salah satu lembaga pendidikan di Makassar membantu membelikannya tiket pesawat ke ibu kota. Bukan hanya itu, rezeki dari seorang penumpang yang tidak dikenalnya di pesawat memberinya uang untuk dibelikan untuk pulang ke Makassar. “Orang itu terharu mendengar perjuangan saya untuk menempuh pendidikan," kenang Khadafi.
Meski gagal pada beasiswa Mitsui Jepang, alumni SMA Negeri 2 Tinggi Moncong 2009 ini tidak patah arang. Ia terus berusaha, apalagi kedua orang tuanya yang berprofesi sebagai pedagang bunga tersebut sangat mendukung cita-cita anaknya.
Khadafi termasuk anak yang pantang menyerah. Selepas SMA, anak yang masih punya keturunan Tionghoa ini pernah mendaftar di Akademi Kepolisian (Akpol), namun pada tahap seleksi pantauan akhir (pantohir) Ia gagal.
"Saya tahu keluarga saya tidak mampu, makanya saya berusaha agar menjadi orang yang sukses. Saya telah terbiasa hidup susah sejak kecil, saya bahkan pernah menjadi buruh di Pelabuhan Makassar, menjajakan kue di jalan dan lainnya. Saat ini saya juga masih aktif membantu orang tua menjual bunga," terangnya.
Prinsipnya hidupnya sangat sederhana; hidup ini tidak selalu seperti yang kita inginkan, Tetapi Hidup ini selalu menjadi seperti yang kita jalani. Ke depan, dia berjanji akan pulang dan membangun Indonesia setelah menyelesaikan pendidikannya hingga magister. (*)
kadafy ende putra memang mantap...
ReplyDeletehebat,,saya terpukau,,;)
ReplyDelete